SEJARAH TUANKU TAMBUSAI
Pada Masa Pemerintahan Raka ke XIV yaitu Sri Sultan Ibrahim gelar Duli Yang Dipertuan Besar
Dimana beliau mengangkat seorang Wali Syarak yaitu Imam Maulana Kali dari Kerajaan Rambah
Lahirlah Tuanku Tambusai, dimasa kecil Tuanku Tambusai sudah diajar agama bahkan telah berpidato didepan raja.
Umur 7 tahun telah diajarkan baca alquran, serta ilmu fiqih.
Sejak terdengan dan populernya Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, yang baru pulang dari Mekah belajar agama, maka Tuanku nan Renceh di negeri Sumatera Barat maka Tuanku Tambusai dikirim belajar kesana
Pada mulanya M. Saleh berguru di Bonjol, disini dikenal tempat pergerakan ulama-ulama yang pulang dari mekah disebut dengan "Gerakan Paderi"
Karena disini selalu terjadi persengketaan dengan adat Minangkabau maka oleh gurunya M. Saleh ditempatkan di Kubung-12 (Rao)
Di Rao inilah M. Saleh atau Tuanku Tambusai memperdala ilmunya, ternyata M. Saleh seorang pemuda yang cerdas. Karena ia dapat menguasai ilmu fiqih ia digelar dengan "Pakih Muhammad Saleh" disingkat Pakih Saleh
Ulama Paderi merasa M. Saleh dapat menyiarkan Islam maka ia diutus untuk itu ke Daerah Toba dan Sekitarnya di mana disini banyak menganut agama Pelbegu, salah satu kepercayaan animisme di Tanah Batak.
Disini ia bersaing dengan misi katolik dan zending Protestan yang mengembangkan agama Kristen.
Setelah berusaha tiba masanya kembali ke Rao dan bersama dengan Pokki Na Ngolngolan.
Pada masa itu Pokih Saleh Banyak berkenalan dengan pembesar dan banyak belajar termasuk dengan seorang Belanda bernama Huender sengaja ditugas Belanda untuk menyelidiki pengaruh Agama Islam di Minangkabau
Dalu-dalu Memanggil
Saat Duli Yang Dipertuan Besar masih memegang tampuk Pemerintahan Kerajaan Tambusai di Dalu-dalu (1819), baginda mulai tua, dimasa itulah Pokih Saleh dipanggil untuk menyelesaikan perkara Agama dan pendidikan agama di Dalu-dalu.
Kemudian Pakih Saleh mendengar perseteruan Belanda dengan Kaum Paderi Meruncing, dan Imamam Maulana Kali ayahnyapun telah meninggal, maka ia menyerahkan pimpinan surau kepada murid kepercayaannya, lalu ia berangkat ke Rao
Di sana Pakih melihat masyarakat hidup sengsara dan dijadikan kerja rodi, Seorang Belanda mandor rodi memandang Pakih Saleh dengan marah, lalu memberi isyarat agar pakih pergi menghindar dari sana.
Sebelum meninggalkan tempat itu pakih Saleh sempat berkata kepada para pekerja, dan perkatan itu telah menimbulkan pengaruh yang tidak terduga dalam bahasa Bel;anda
"Gaat voort...tot er eenmaal een eide zal komen; eenmaal, wie weet wanneer, zal opolik semen de stille kracht"
(Teruslah... hingga sekali waktu sampai batasnya, sekali waktu, siapa tahu entah bila, pasti meledak kekuatan rahasia"
Setelah itu ia pergi ke Gerakan Paderi, dan para ulama Paderi memberi izin untuk berangkat ke Mekah, ke Tanah Suci menunaikan Haji, didalam kapal beliau banyak berkenalan dengan orang-orang hebat dimana seorang Seorang Letnan Inggris yang datang dari Malaysia sedang dalam perjalanan pulang bertemu dengan pakih Saleh di kapal (namanya tidak dituls dalam catatan abdul Qohar)
Pakih Saleh banya belajar strategi perang dengan beliau, modal inilah yang membuatnya selalu berjaya menghadapi Belanda, sehingga Perperangan dengan Paderi ditambah dua tahun lagi, setelah Imam Bonjol jatuh dan Tuanku Imam Bonjol ditawan. Peluang inilah membuat ia bertahan lebih lama menjadi kekuatan Paderi terakhir. Hal inilah
yang membuat Belanda secara emosional memberi nama baru "De Padriesche Tijger van Rokan"
Beliau kembali dari Mekah dan menetap di Padang lawas (1820)
Tuanku Tambusai Tampil di Benteng Rao
Ketika pertikaian antara Paderi dengan kaum adat dan raja-raja, Pakih Saleh tidak ikut campur, itulah sebabnya beliau menyingkir ke Padang Lawas (Mandhiling/Tapanuli Selatan)
Tiga tahun lamanya Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan terlibat Perang (1825) Perjanjian damai yang diadakan seperti Perjanjian Masang 22 Januari 1824 tidak pernah bertahan lama, keduabelah pihak saling melanggar.
Pada tanggal 20 Juli 1825 perang Diponegoro Pecah, Hindia Belanda terpaksa mengerahkan pasukan ke Jawa.
Belanda merubah siasat dengan menjalin hubungan bersama Sayed Salim Ul Jufrie, orang arab sebagai perantara pada tanggal 15 Nopember 1925 diadakan perjanjian Padang antara Belanda, berjanji tidak akan saling menyerang.
Oleh sebab itu hingga tahun 1830 Dipertuan Rao masih tetap berkuasa.
Oleh sebab itu Yang Dipertuan Rao tidak ada alasan benci dengan Belanda, namun manatunya si Pokki Na Ngolngolan yang kemudian dikenal dengan Tuanku Rao dapan mengartikan taktik Belanda itu.
Tuanku Rao menantikan kedatangan sama belajar di Kubung-12 Rao yaitu Tuanku Tambusai/Pakih Saleh.
Tuanku Tambusai tiba di Rao Februari 1830 yang disambut Tuanku rao.
Tuanku Tambusai didampingi seorang sahabat dan penasehat pribadinya Imam Perang Muhammad Jawi dan seorang ajudan bernama Haji Muhammad Saman, sedangkan para pengiring berkawal di luar pagar, ketika Tuanku Tambusai selesai mengungkapkan niat jahat Belanda,
Yang Dipertua Rao tetap tidak dapat menerima alasan tersebut "Aku tidak punya alasan untuk memusuhi Belanda"
Akhirnya dibujuk Yang Dipertuan Rao agar menyerahkan kekuasaan kepada Tuanku rao dikarenakan usia Yang Dipertuan Rao tidak memungkinkan lagi, Akhirnya tahun 1830 kekuasan itu diserahkan kepada Tuanku Rao.
Mengapa hal ini perlu dilakukan oleh Tuanku Tambusai, dikarenakan Rao adalah benteng Rao dalam strategi Perang, merupakan pintu gerbang ke tiga jurusan, yakni ke Minangkabau (arah Barat), ke Tapanuli (arah Timur), ke Lhak Tambusai/Riau (arah Utara).
Setelah perang Diponegoro berakhir dengan ditawannya Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830, kekuatan di jawa ditarik lagi ke Sumatera untuk menghadapi perang Paderi.
September 1832 Belanda menyerang Benteng Rao, akhirnya 16 hari bertahan benteng Rao dikosongkan oleh pejuang Paderi (oktober 1832) Tuanku Rao beserta pasukannya mengundurkan diri ke Air Bangis.
Kemenangan ini Belanda merubah nama Benteng Rao dengan FORT AMERONGEN" Dipimpin oleh Letnan Engelbrecht, Van Vervoorden, Letnan Logemann dan Popye.
Mulailah Tuanku Tambusai membuat siasat, menyeludupkan prajurid yang berani mati ke Rao sebagai penduduk disana untuk menculik satu persatu tentara Belanda dan dipenggal kepalanya lalu diletakkan ditengah jalan, hal ini membuat tentara Belanda yang ada di Fort Amerongen ketakutan takut keluar kampung, dan diperintahkan setiap malam masyarakat memasang lampu di depan rumah.
Belanda memasuki tahun baru 1833 dengan penuh kecemasan. Letnan Engelbrecht mengutus mata-mata ke Tambusai untuk mengetahui pribadi Tuanku Tambusai, mata-mata orang Mandahiling yang besar di Batavia ini menulis semua yang dilihatnya sehingga pada akhir penutupan laporan ditulis kalimat "Een der indrukken, die ik reeds lang, voordat ik in Mandahiling kwam, had is daar zeer versterkt, nl. dat ze is een Padriesche Tijger, een Padriesche Tijger van Rokan.
(Suatu kesan yang telah bersemi dalam diri saya lama sebelum saya datang ke Mandahiling, bertambah keras setelah saya berada disana, yakni bahwa dia adalah seekor harimau padri, seerkor Harimau Paderi yang berasal dari Rokan).
Laporan tersebut membuat prajurit Belanda di Benteng Amerongen ketakutan dan lemah semangat, apalagi beberapa serangan di tempat lain seperti :
7 Januari 1833 pasuka Belanda yang dipimpin Letkol Vermeulen Krieger digempur oleh pejuang paderi di Sipisang hingga sebagian besar binasa.
Empat hari kemudian 11 Januari 1833 terjadi pemusnahan terhadap pendudukan Belanda di Bonjol.
Dengan keadaan demikian Belanda mulai mencari kontak dengan Tuanku Tambusai guna mengadakan perdamaian, Surat yang dikirim Engelvrecht tidak direspon namun dibalas dengan bunyi surat sebagai berikut :
...neen, Amerongen Wat helpen ons gebeden. Het onrecht heeft te lang geduurd. De Inlander van Tambusai en mandahiling, en zijn en de luhahgemente vormen van ouds den kleinen-man, de dienstbaren, die dus nedering te houden is, overigens de belasting betaler bij uitnemendheid. Neen, Amerongen. Tegen wil en dank bevinden zich de silent-Djawian ook in de smeltkroes..."
(...tidak, Amerongen. Tidak perlu mengharapkan belas kasihan. Kezaliman telah berlangsung terlalu lama. Bumi Putera dar Tambusai dan mandahiling, Kepala dan Luhaknya semenjak dahulu merupakan orang hina, si orang patuh, yang oleh sebab itu mau terus dihina selama-lamanya, pembayar pajak yang paling taat. Tidaklah, Amerongen, Mau tak mau orang Jawi yang tenang itu menggelegak dalam kancah pergolakan..."), Sebutan Orang Jawi itu adalah orang Melayu Sumatera termasuk orang Minang dan Mandahiling, karena sebutan Melayu berarti orang Semenanjung Melaka.
Setelah beberapa hari setelah itu suatu malam bercuaca buruk Tuanku Tambusai beserta pasukannya melakukan penyerangan ke dalam Benteng Rao (Fort Amerongen), perkelahian tanpa senjata berlangsung sampai subuh, menjelang siang Tuanku Tambusai dapat menarik pasukannya keluar benteng.
Penyerangan ini rasa kagum orang Belanda.
27 April 1833 Belanda mengirim surat ke padang dengan bunyi "Wij moeten bergrijpen, dat Tuanku Tambusai schekracht is onaangetast, ondordringbaar..."
(Hendaknya kita mengeri, bahwa kekuatan Tuanku Tambusai adalah kekuatan yang tak dapat diserang, tak dapat diterobos...)
Bulan Juni 1883 di Padang tibalah Jenderal Mayor Riesz dengan membawa pasukan yang besar, Sementara Tuanku Tambusai melanjutkan perang dengan memasuki Angkola, demikian pula di mana-mana perlawanan terus berkobar.
(rokan.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar